Pada bagian ini, akan diuraikan tentang usaha selama delapan tahun membangun Gedung Da’wah, yang tentu saja berkait erat dengan keberadaan MUI Kota Depok, dari masa-masa yang paling awal pada tahun 1983 hingga bentuknya seperti saat ini, Banyak romantika, seperti cerita duka, kabar pahit dan kenangan getir yang terungkap tak terelakkan. Hal itu untuk mengingatkan bahwa manis indah hari ini adalah amanah yang harus dijaga, dipelihara dan dikembangkan untuk selanjutnya menjadi titipan bagi generasi mendatang yang harus dikembalikan dalam kondisi yang selalu tetap anggun berwibawa.
Kini ada baiknya kita menengok ke belakang sejenak, melihat curam dan berlikunya tanjakan pendakian yang telah ditempuh selarut selama ini. Mari kita tengok dan . renungkan perjalanan sejarah MUI Kota Depok. Dan untuk memudahkan, kita bagi rentang perjalanan MUI dalam beberapa periode.
MUI Periode Pertama (Embrio, 1982-1984)
Jauh sebelum berstatus “Kota’ seperti sekarang ini, Depok sebelumnya adalah sebuah “Kecamatan, yang kemudian meningkat statusnya menjadi “Kota Administratif. Perubahan status dari “Kecamatan’ kepada “Kota Administratif, kemudian menjadi ‘Kota’ ini tentu saja berpengaruh bagi perjalanan organisasi MUI di Kota Depok pada masa-masa itu.
Ketika masih berstatus sebagai Kecamatan Depok sebelum tahun 1982, telah terbentuk MUI Kecamatan Depok yang dipimpin oleh K.H. M. Usman, dan menjadi bagian dari MUI Kabupaten Bogor. Tetapi ketika pada tahun 1982 Depok menjadi Kota Administratif, maka status organisasi MUI Depok menjadi tidak jelas, karena dalam anggaran dasar MUI tidak ada struktur MUI untuk tingkat Kota Administratif. Meskipun kemudian, hal ini tidak menyurutkan ulama-ulama Depok ketika itu untuk membentuk suatu kepengurusan MUI tingkat Kotif Depok.
Maka lewat proses yang singkat dan bersahaja, dengan difasilitasi oleh Walikotatif Depok yang pertama, yaitu Bapak Drs. Rukasah, maka terbentuklah kepengurusan MUI kota Administratif Depok. Terpilih sebagai Ketua Umum adalah KH. Bahalwan, seorang ulama asal Ternate, yang pernah menjadi staf pribadi Perdana Menteri Mohammad Natsir. Dengan komposisi kepengurusan yang terdiri dari ulama berbagai Organisasi Islam.
Ada sesuatu yang cukup berkesan pada kepengurusan pertama MUI Depok ini, yaitu adanya ulama yang memang asli merupakan putera Depok yang ketika itu secara bergurau disebut ulama anshor, diantaranya adalah H.M. Usman, H. Abdus Somad Rahman, H. Syamsuddin, H. Salim Ibrahim, BA, H. Imam Hanafi, H. Marta. Sedangkan ulama pendatang yang disebut ulama muhajirin ada nama-nama seperti H.Syu’bah Asa, H. Masdun Pranoto, H. Ahmid Husni, H. Amin Hudi, H. Syafe’i Saleh, KH. Fathoni Siroj, Drs. Mujahid Ali Kodir dan lain-lain.
Periode awal ini diakui menjadi peletak pondasi bagi terbentuknya MUI yang kuat dan tertata rapi sebagai organisasi publik yang menaungi umat. Meski kiprahnya secara praktik ketika itu belum nampak dan dirasakan benar. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, Keberadaan MUI Kotif Depok yang belum diakui oleh MUI Jawa Barat menyebabkan koordinasi, pembinaan dan pengawasan tidak intensif dilakukan, dan ini berpengaruh sangat besar bagi kinerja dan semangat pengurus baru. Kedua, pengurus MUI ketika itu lebih banyak diisi oleh mereka yang masih aktif dalam tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ketiga, konsekuensi nya pengurus belum benar-benar pokus kepada program.
MUI Periode Kedua (1984-1990)
Pada tahun 1984 Walikota Depok bertukar, Drs. M. Rukasah direkomendasikan sebagai Ketua Bappeda Kabupaten Bogor. Beliau digantikan oleh Drs. M.I. Tamjid yang di masa perkenalannya dengan masyarakat Kotif Depok mengundang para ulama bertandang ke rumahnya. Pada periode ini terpilihlah Ustadz H. Aman Bafadhal, ulama asal Jambi, dan pensiunan Departemen Penerangan yang punya cukup waktu untuk mengurus MUI Kotif Depok. Kemudian beliau menyusun kepengurusan baru dengan sekretaris Drs. Mudjahid Ali Kodir dan bendahara H. Baharuddin Ibrahim.
Pada periode kepengurusan kedua inilah ada semacam geliat organisasi MUI secara perlahan namun pasti. Ketua yang baru, sangat rajin dan piawai melobi pemuka masyarakat dan pejabat pemerintahan. MUI Kotif Depok pun secara de facto diakui secara resmi oleh MUI Kabupaten Bogor. Bahkan MUI Jawa Barat mengakui keberadaan MUI Kotif Depok sejajar dengan MUI tingkat Kota. Terbukti, pada setiap rapat-rapat MUI Jawa Barat yang melibatkan MUI Kabupaten/ Kota, MUI Depok diundang dan disejajarkan dengan MUI Kabupaten/Kota lainya.
Sebagai organisasi yang mulai berjalan baik, MUI Kotif Depok tentulah membutuhkan sarana sekretariat atau kantor. Dan ketika hal ini dibicarakan dengan pihak walikota, dengan serta merta Walikota ketika itu menunjuk sebidang tanah tempat sekarang gedung MUI ini berdiri. Diatas tanah seluas 1.360 meter persegi, dibangunlah kantor MUI Kotif Depok seluas 250 meter persegi yang kondisinya semi permanen. Tanah “ yang tersisa masih seluas seribu meter persegi. Dalam hati pengurus ada terpendam sebuah cita-cita untuk membangun gedung yang lebih besar dan megah sehingga representatif bagi kegiatan ulama dan umat Islam.
Namun sayang, sebelum melihat cita-cita besar terwujud, KH. Aman Bafadhal, Ketua Umum MUI kala itu jatuh sakit dan dipanggil menghadap Allah SWT. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun
MUI Periode Ketiga (1991 – 1996)
Pada saat KH. Aman Bafadhal wafat, masa kepengurusan beliau akan berakhir hanya beberapa bulan lagi. Maka tidak lama setelah beliau meninggal, dipilihlah kepengurusan baru, yang akhirnya terpilih adalah KH. M Usman, sebagai Ketua Umum dengan sekretaris dan bendahara masih yang lama.
Pada periode kepengurusan MUI ketiga ini pihak Perumnas mengundang pimpinan MUI Kotif Depok untuk membahas status tanah milik Perumnas yang dipakai oleh MUI. Berangkatlah beberapa orang pengurus MUI, yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum. Dalam perundingan pertama didapat kata sepakat bahwa pihak Perumnas bersedia melepaskan tanah tersebut kepada MUI dengan syarat dibeli menurut harga yang akan ditentukan kemudian.
Pada pertemuan kedua, MUI menunjuk bendahara untuk menjadi negosiator dengan pihak Perumnas. Setiap seminggu selama sebulan terjadi negosiasi yang alot antara MUI dengan pihak Perumnas. Perumnas meminta harga Rp. 150.000, per meter, dengan alasan bahwa tanah yang ditempati oleh MUI adalah tanah komersial. Pihak MUI menganggap tawaran itu terlalu tinggi dan diskriminatif, karena dibanding tanah di jalan Melati yang dibangun untuk Gereja Khatolik harganya hanya sebesar Rp. 15.000, per meter.
Demi kebaikan dan keadilan MUI hanya akan membayar sebesar Rp. 15.000, per meter. Alasan bahwa tanah itu komersial tidak bisa diterima sebab bukan dipakai untuk berdagang, tetapi semata untuk keperluan sosial.
Dalam setiap pertemuan pihak perumnas selalu bertahan dengan dalih nilai tanah komersial, memang ada penurunan harga, akan tetapi hanya diturunkan dengan nilai yang sangat kecil. Pada pertemuan terakhir pihak MUI menegaskan bahwa pihak MUI tidak akan datang lagi pada pertemuan berikutnya apabila pihak Perumnas tidak melepas dengan harga sebesar Rp. 15.000, per meter. Bahkan pihak MUI akan berusaha langsung menyampaikan persoalan ini kepada Menteri Perumahan Rakyat ketika itu, yaitu Ir. H. Akbar Tanjung yang telah meletakkan batu pertama pembangunan gedung MUI. Kebetulan memang gedung itu peletakkan batu pertamanya dilakukan oleh Ir. H. Akbar Tanjung, yang merupakan hasil lobi pengurus sebelum Perumnas mempermasalahkan status tanah tersebut.
Mendengar argumentasi demikian, pihak Perumnas selanjutnya menurunkan harga menjadi Rp. 25.000, per meter persegi. Setiap habis kembali dari bernegosiasi dengan pihak Perumnas, MUI selalu berkoordinasi dan menyampaikan hasilnya kepada Walikota Depok yang waktu itu dijabat oleh Drs. A. Wahyan. Juga tentang bertahannya MUI pada harga Rp. 15.000, . Pada laporan terakhir, Walikota setuju dengan harga yang diminta Perumnas, dengan catatan, bahwa pembayaran diangsur empat kali, dan pada pembayaran ketiga, pihak Perumnas memberikan sertifikat tanah. Alhamdulillah semua berjalan lancar, tanah dan sertifikat pun telah dipegang oleh MUI dengan luas 1.320 meter persegi dilokasi yang sangat strategis. Jumlah pembayaran seluruhnya adalah Rp. 34.565.000,berasal dari infag, shodagoh kaum muslimin serta bantuan Pemerintah Kotif Depok.
Kemudian, mau diapakan tanah yang cukup luas dan strategis itu ? Pertanyaan inilah yang menginspirasikan pengurus MUI untuk bertekad membangun sebuah Gedung Da’wah yang akan dimanfaatkan oleh ummat. Pada rapat bersama antara pengurus MUI dengan Walikota yang di jabat oleh Drs. Sofyan Safari Hamim, diambil kata sepakat tentang rencana Pembangunan Gedung Da’wah MUI Kotif Depok. Kepanitiaan pun terbentuk, dengan Ketua Drs. H. Mujahid Ali Kodir, M.Sc. Sekretaris Drs. H. Ahmid Husni dan Bendahara H. Baharuddin Ibrahim.
Panitia pun segera melakukan langkah, diantaranya melaporkan rencana ini ke Bupati Bogor Bapak Edi Yoso Martadipura dan MUI Kabupaten Bogor. Gayung bersambut, Bapak Bupati Bogor menjanjikan dana awal pembangunan sebesar Rp. 60.000.000, dan MUI Kabupaten Bogor menyerahkan blangko Kupon TIIS yang sebelumnya hanya beredar di Kabupaten Bogor juga bisa diedarkan di Kotif Depok.
Pada tanggal 10 Nopember tahun 1995, diletakkanlah batu pertama pembangunan Gedung Da’wah MUI oleh Walikota Depok Drs. Sofyan Safari Hamim. Pada tahun ini pula KH. A. Somad Rahman yang sebelumnya sebagai Ketua I MUI Kotif Depok ditetapkan sebagai Ketua Umum menggantikan KH. Usman yang sakit. Awal tahun 1996, roda pembangunanpun berjalan dengan perlahan mengikuti dana yang tersedia. Selama dua tahun, sampai tahun 1998, pengecoran lantai dasar dan lantai satu. dapat terselesaikan. (Bersambung)
Disadur dari,
Buku “Langkah Islam di Depok” diterbitkan MUI Kota Depok, Juni 2006
Depok, 17 Rajab 1446 H
17 Januari 2025 M
Komisi Infokomdigi MUI Kota Depok (AAS)